Eksistensi tempat pelelangan ikan (TPI) dalam
menunjang pertumbuhan ekonomi masyarakat Puger
( MANAJEMEN INVESTASI )
Dosen
pengampu
Drs.
Kaskojo Adi, M.Si
Di
susun oleh
Fitria
febi susanti 1558632112005
Fitriyani
wahidin 1558632112005
Moh
nur kholis 1558632111977
Moh
silmi 1558632111986
Abdul
latif hidayatullah 1558632111985
Arfi
rahmatullah 1558632112013
Nuril
hilal
1558632112998
STIA PEMBANGUNAN JEMBER
JL lumba-lumba no 9 telp 0331-486182 jember
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Tempat Pelelangan Ikan pada dasarnya menjadi tanggung
jawab pemerintah daerah karena termasuk kepada kewenangan otonomi daerah,
sehingga pada tiap daerah dapat ditemukan TPI dengan sistem yang agak berbeda
satu sama lain. Berdasarkan UU No 31 tahun 2004, disebutkan bahwa pemerintah
berkewajiban untuk membangun dan membina prasarana perikanan (pelabuhan
perikanan dan saluran irigasi tambak) (Pramitasari, 2005). Menurut sejarahnya
Pelelangan Ikan telah dikenal sejak tahun 1922, didirikan dan diselenggarakan
oleh Koperasi Perikanan terutama di Pulau Jawa, dengan tujuan untuk melindungi
nelayan dari permainan harga yang dilakukan oleh tengkulak/pengijon, membantu
nelayan mendapatkan harga yang layak dan juga membantu nelayan dalam
mengembangkan usahanya (Pramitasari, 2005).
Sebelum terbentuknya tempat pelelangan ikan, harga ikan
cenderung tidak stabil dan banyak pihak yang memberlakukan harga semaunya.
Dapat dikatakan bahwa sebelum adanya TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dalam menjalankan
kegiatan perekonomiannya, masyarakat nelayan di Puger menganut hukum rimba. Hal
ini dapat terlihat dari adanya kewenangan dari pihak yang kuat untuk menentukan
harga sesuka hatinya sehingga seringkali menimbnulkan ketidak stabilan harga
dan tidak jarang pula kerugian bagi nelayan kecil. Berasas pada hal tersebutlah
kemudian pemerintah mencanangkan program pendirian TPI (Tempat Pelelangan Ikan)
yang diharapkan dapat meminimalisir adanya kecurangan harga, ketidak stabilan
harga, dan perdagangan ilegal.
Tugas TPI ini adalah sebagai sarana dan wadah bagi nelayan
dalam menentukan harga yang pantas bagi kedua belah pihak baik itu penjual
(nelayan) dan pembeli melalui kegiatan pelelangan.Jika ikan tersebut tidak
dilelang maka keberadaan ikan tersebut akan dipasok atau ambil oleh para
pengambek. Istilah pengambek atau pemodal itu sendiri yaitu para
juragan-juragan yang mempunyai uang banyak untuk memberikan pinjaman kepada
para nelayan tapi harga ikan ditentukan oleh orang yang punya uang (pengambek).
Misalnya satu potong ikan (5 kg) harga umumnya Rp. 30.000 tapi si pengambek
tersebut mengatakan harganya hari ini Rp. 28.000 sehingga uang Rp.2.000
tersebut masuk pada pihak pengambek (proses tersebut sebenarnya merugikan pihak
nelayan) disamping itu dia (si pengambek) ada perjanjian perpotong (bajong)
dikenakamn pajak Rp. 1.000 Dengan adanya harga ikan yang tidak benar (tidak
jelas harga sebenarnya) maka pemerintah membentuk sebuah organisasi yang
mengatur tentang jual beli ikan yang di sebut dengan Tempat Pelelangan Ikan
(TPI).
Pada
tahun 1950-an sebelum terbentukknya tempat pelelangan ikan sebelumnya terdapat suatu yayasan yang mengatur usaha
pelelangan ikan. Yayasan tersebut bernama Jajasan Perikanan Laut Puger (JPLP).
Usaha-usaha yang dilakukan oleh JPLP adalah Tempat Pelelangan Ikan (TPI),
penyediaan bahan dan alat tangkap perikanan (BAP), penjemuran ikan. Namun
sampai sejauh itu belum banyak memberikan manfaat kepada nelayan anggota untuk
menaikkan taraf ekonominya. Hal ini disebabkan oleh praktek system ijon oleh
para tengkulak, dengan memberikan pinjaman dan bantuan yang sifatnya mengikat,
sehingga relative harga ikan di pasaran dikuasai oleh mereka.
Saat itu yang menjadi prakarsa
pendirian yayasan ini adalah bapak Sumartojo sekaligus sebagai ketua, Muchrijal
dari desa Puger Wetan, Imam Djoeremi
dari desa Puger Kulon, serta beberapa warga yang lain dengan tujuan untuk mengkoordinir penjualan hasil tangkapan
nelayan pantai Puger dan untuk mengantisipasi nelayan pendatang yang mulai
berdatangan ke daerah Puger. Pada tahun 1964 nama lembaga ini diganti menjadi
Koperasi Perikanan Laut Mijoso - Mino,
alasannya yang dipakai untuk menampung seluruh aktifitas ekonomi yang ada di
lokasi tersebut yang meliputi satu kecamatan dan bidang usaha tidak terbatas
sektor perikanan saja tetapi pertanian dan peternakan. Berhubung tidak dapat
berjalanan dengan seimbang pada tahun 1972 berubah menjadi Yayasan Pelelangan
Ikan (YPI) yang dengan tugas utama menangani TP saja. Perubahan kebijakan
pemerintah untuk menertibkan badan usaha bersama pada tahun 1976 berganti nama
lagi menjadi Badan Usaha Unit Desa (BUUD) dengan orientasi lebih fokus pada
aspek perikanan yaitu menangani pelelangan ikan nelayan, anggotanya dengan
berkedudukan di kantor Tempat Pelelangan Ikan Puger. Atas persetujuan dewan dan
rapat anggota, pada tahun 1979 berganti menjadi Koperasi Unit Desa (KUD) Mina
Raharja dengan lebih memfokuskan usahanya pada sektor penangkapan ikan dan
aspek lain yang berhubungan, sebagai ketua pertama Bapak Bapak Mudjamil Al-Jihat
(mantan KUA) dengan dibantu Bapak Sugianto dan H. Zaeni sebagai ketua dan
Sekretaris. Dua tahun kemudian dilegalkan dengan Badan Hukum No. 4863/BH/1981
tanggal 16 April 1981.
Peranan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) itu sendiri adalah
melelangkan ikan-ikan yang di peroleh dari para nelayan untuk membantu
memperjualkan ikan yang didapatkan sehingga mendapatkan harga jual yang bisa
diterima oleh para masyarakat (konsumen) dengan melihat kemampuan daya belinya.
Peranan Tempat Pelelangan Ikan tersebut tidak berjalan secara optimal karena
sangat sulit untuk mengatur para nelayan yang mayoritas telah terikat kontrak
dengan para pengambek yang memiliki pengaruh yang sangat besar. Hal tersebut
sampai sekarang masih berlaku karena pemerintah tidak mempunyai upaya untuk
mengkoordinir kelompok-kelopmpok nelayan supaya dimodali agar tidak bergantung
pada pengambek.
Jam operasional Tempat Pelelangan Ikan (TPI) ditetapkan
bukan dengan peraturan jam dinas melainkan jam ikan artinya jika ikan datang
barulah dilakukan transaksi (mengkondisionalkan datangnya ikan). Misalnya ikan
yang didapatkan oleh para nelayan jam 04.00 pagi maka pada saat itulah terjadi
transaksi jual beli ikan, jika transaksi tersebut mengikuti jam dinas maka para
pelaku-pelaku dalam proses penjualan tersebut tidak akan berjalan dan tidak
akan mendapatkan hasil seperti halnya ikan datang pada malam hari dan melakukan
transakasi menunggu jam dinas maka akibatnya tidak akan mendapatkan
penghasilan.
Pembangunan prasarana pelabuhan berupa Tempat
Pelelangan Ikan (TPI) merupakan salah satu penunjang keberhasilan pembangunan
perikanan, seperti tercantum dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang
Perikanan, pemerintah berkewajiban untuk membangun pelabuhan perikanan dengan
tujuan antara lain untuk menunjang proses motorisasi dan modernisasi unit
penangkapan ikan tradisional bertahap dalam rangka memperbaiki usaha perikanan
tangkap untuk memanfaatkan sumber daya perikanan dan kelautan. Pengelolaan
perikanan dilakukan berdasarkan azas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan,
keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan.
TPI (Tempat Pelelangan Ikan) memiliki
fungsi yang sama halnya dengan pasar, sehingga kontribusinya dalam kegiatan
perekonomian masyarakat nelayan sangat besar. Sebagaimana dalam kegiatan bisnis
pada umumnya, bahwa pasar merupakan suatu elemen penting yang tidak dapat
terpisahkan dari kegiatan bisnis dan sebagai salah satu faktor penentu
eksistensi suatu bisnis. Mengingat peran dan kontribusinya dalam menunjang
geliat perekonomian masyarakat nelayan, eksistensi TPI harus dijaga.
Sebagai sektor perikanan, tentunya TPI
menjadi sarana wajib bagi masyarakat nelayan di Puger untuk menunjang kegiatan
perekonomiannya. Eksistensi TPI menjadi faktor utama yang harus diperhatikan.
Namun demikian, kegiatan nelayan tidak selamanya menghasilkan ikan yang
berlimpah. Kegiatan ini banyak dipengaruhi oleh faktor alam, sehingga hal ini
tentunya akan berpengaruh terhadap ketersediaan ikan dan kegiatan di TPI.
Sebagaimana di unggah dalam kabarbisnis.com mengungkapkan bahwa “Tempat Pelengan Ikan (TPI) di Kec
Puger, Jember, Jatim, dalam beberapa hari terakhir terlihat beralih fungsi.
Jika biasanya TPI selalu sesak dengan transaksi ikan laut, yang terjadi
sekarang malah dipenuhi penjual ikan air tawar hasil memancing dan menjaring
yang jumlahnya sangat sedikit. Hal ini disebabkab oleh faktor cuaca yang
beberapa bulan terakhir terjadi badai dan hujan lebat”. Hal ini tentunya akan
berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat nelayan dipuger dan eksistensi TPI
sebagai sarana penunjang pertumbuhan perekonomian masyarakat Puger. Melihat
adanya alih fungsi TPI di daerah Puger menggambarkan bahwa eksistensi TPI ini
di pengaruhi oleh banyak faktor dan pentingnya keberadaan TPI bagi perekonomian
masyarakat sehingga ketika terjadi krisis ikan laut mereka mencoba mencari
alternatif lain yang kemudian di transaksikan di TPI. Berdasarkan hal
tersebut kami mencoba
mengungkapkan objek dari studi dengan judul " EKSISTENSI KEBERADAAN TEMPAT PELELANGAN IKAN (PUGER) DALAM MENUNJANG PERTUMBUHAN EKONOMI MASYARAKAT PUGER"
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka masalah yang dapat
di rumuskan dalam observasi ini adalah
1. Bagaimanakah eksistensi keberadaan
tempat pelelangan ikan (puger) dalam menunjang ekonomi masyarakat sekitar,
khusunya bagi masyaakat puger sendiri?
1.3
Tujuan dan Manfaat
1.3.1
Tujuan
1. Untuk megetahui eksistensi
keberadaan tempat pelelangan ikan (Puger) dalam menunjang ekonomi masyarakat
sekitar, khsusunya masyrakat desa puger
1.3.2
Manfaat
1. Manfaat dari kegiatan observasi ini memberikan informasi
tentang eksistensi keberadaan tempat
pelelangan ikan (puger) dalam menunjang pertumbuhan ekonomi masyarakat jember
2.
Memberi
pengetahuan pada pembaca tentang keberadaan Tempat Pelelangan Ikan di Puger
3. Untuk bahan pertimbangan bagi upaya peningkatan
kesejahteraan nelayan
Puger
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Landasan
Teori
2.1.1
Eksistensi
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia Eksistensi adalah
keberadaan, kehadiran yang mengandung unsur bertahan. Sedangkan menurut Abidin
Zaenal (2007:16) eksistensi adalah : “Eksistensi adalah suatu proses yang
dinamis, suatu, menjadi atau mengada. Ini sesuai dengan asal kata eksistensi
itu sendiri, yakni exsistere, yang artinya keluar dari, melampaui atau
mengatasi. Jadi eksistensi tidak bersifat kaku dan terhenti, melainkan lentur
atau kenyal dan mengalami perkembangan atau sebaliknya kemunduran, tergantung
pada kemampuan dalam mengaktualisasikan potensi-potensinya”.
Menurut Nadia Juli Indrani, eksistensi bisa kita kenal
juga dengan satu kata yaitu keberadaan. Dimana keberadaan yang dimaksud adalah
adanya pengaruh atas ada atau tidak adanya kita. Istilah “ hukuman” merupakan
istilah umum dan konvensional yang mempunyai arti yang luas dan dapat
berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi dengan bidang yang cukup luas.
Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam bidang hukum, tetapi juga
dalam istilah sehari-hari seperti di bidang moral, agama dan lain
sebagainya.
Eksistensi dalam tulisan ini juga memiliki arti yang
berbeda, eksistensi yang dimaksud adalah mengenai keberadaan aturan atau hukum
yang mengakibatkan perubahannya suatu hal. Hukum dan pidana kaitannya sangatlah
erat, dimana ada hukum pasti ada pidana, namun keduanya memiliki makna yang
berbeda. Ludwig Binswanger merupakan seorang psikiatri yang lahir pada tanggal
13 April 1881, di Kreuzlinge. Ia mendefinisikan analisis eksistensial sebagai
analisis fenomenologis tentang eksistensi manusia yang aktual. Tujuannya ialah rekonstruksi
dunia pengalaman batin.
Jean Paul Sartre sebagai seorang filosof dan penulis
Prancis mendefinisikan, “Eksistensi kita mendahului esensi kita”, kita memiliki
pilihan bagaimana kita ingin menjalani hidup kita dan membentuk serta
menentukan siapa diri kita. Esensi manusia adalah kebebasan manusia. Di mana
hal yang ada pada tiap diri manusia membedakan kita dari apapun yang ada di alam
semesta ini. Kita sebagai manusia masing-masing telah memiliki “modal” yang
beraneka ragam, namun tetap memiliki kesamaan tugas untuk membentuk diri kita
sendiri.
Berbeda dengan Binswanger, lebih menekankan kepada
sifat-sifat yang melekat pada eksistensi manusia itu sendiri. Selain itu hal lain
yang dibicarakan oleh Boss adalah spasialitas eksistensi (keterbukaan dan kejelasan
merupakan spasialitas (tidak diartikan dalam jarak) yang sejati dalam dunia
manusia), temporalitas eksistensi (waktu (bukan jam) yang digunakan/dihabiskan,
badan (ruang lingkup badaniah dalam pemenuhan eksistensi manusia), eksistensi
dalam manusia milik bersama (manusia selalu berkoeksistensi atau tinggal
bersama orang lain dalam dunia yang sama), dan suasana hati atau penyesuaian
(apa yang diamati dan direspon seseorang tergantung pada suasana hati saat
itu).
Dalam filsafat eksistensi, istilah existensi di artikan
sebagai gerak hidup manusia kongkrit. Kata eksistensi berasal dari bahasa latin
ex-sistere ( ex berarti keluar dan tere berarti berdiri, tampil ) kata
eksistensi diartikan manusia berdiri sendiri dengan keluar dari dirinya. Dalam
pengertian inilah eksistensi mengandung corak yang dinamis. Dalam filsafat
eksistensi, pengertian eksistensi digunakan untuk menunjukkan cara benda yang
unik dan has dari manusia yang berbeda dengan benda-benda lainnya, karena hanya
manusialah yang dapat berada dalam arti yang sebenarnya di banding
mahluk-mahluk atau benda-benda lain di dunia ini lebih sepisik lagi eksistensi
lebih merujuk atau menunjuk pada manusia secara individual artinya “individu
yang ini” atau “individu yang itu” dan bersifat kongkrit, kongkrit dalam arti
bahwa manusia tidak dipormulasikan berdasar rekayasa ide apstrak sfekulatif
seseorang untuk menyatakan depenisi manusia secara umum. Eksistensi bukanlah
suatu yang sudah selesai, tapi suatu proses terus menerus melalui tiga tahap,
yaitu : dari tahap eksistensi estetis kemudian ke tahap etis, dan selanjutnya
melakukan lompatan ke tahap eksistensi religius sebagai tujuan akhir. Menurut
Sukamto Satoto sampai saat kini tidak ada satupun tulisan ilmiah bidang hukum,
baik berupa buku, disertasi maupun karya ilmiah lainnya yang membahas secara
khusus pengertian eksistensi. Pengertian eksistensi selalu dihubungkan dengan
kedudukan dan fungsi hukum atau fungsi suatu lembaga hukum tertentu. Sjachran
Basah mengemukakan penegrtian eksistensi dihubungkan dengan kedudukan, fungsi,
kekuasaan atau wewenang pengadilan dalam lingkungan bada peradilan administrasi
di Indonesia
2.1.2 Pertumbuhan
Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi (economic growth) secara paling sederhana
dapat diartikan sebagai pertambahan output atau pertambahan pendapatan nasional
agregat dalam kurun waktu tertentu, misalkan satu tahun (Prasetyo, 2009). Perekonomian
suatu negara dikatakan mengalami pertumbuhan jika balas jasa riil terhadap penggunaan
faktor-faktor produksi pada tahun tertentu lebih besar daripada tahun–tahun
sebelumnya. Dengan demikian pengertian pertumbuhan ekonomi dapat diartikan
sebagai kenaikan kapasitas produksi barang dan jasa secara fisik dalam kurun
waktu tertentu.
Suatu perekonomian dikatakan tumbuh jika terjadi
kenaikan output perkapita dalam jangka panjang, pertumbuhan ekonomi sebagai
suatu ukuran kuantitatif yang menggambarkan perkembangan suatu perekonomian
dalam satu tahun tertentu apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya
(Sukirno, 2006).
Pembangunan ekonomi juga bisa didefinisikan sebagai
suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk
suatu negara dalam jangka panjang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan
(Arsyad, 2004).
Konsep PDB digunakan pada tingkat nasional, sedangkan
untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota digunakan konsep konsep PDRB. PDB
atau PDRB dapat diukur dengan 3 macam pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendekatan
dan pengeluaran (Tambunan, 2003). Pendekatan produksi dan pendapatan adalah
pendekatan dari sisi penawaran agregat (Aggregate Supply) sedangkan pendketan
pengeluaran adalah pendekatan dari sisi permintaan agregat (Aggregate Demand).
2.1.3
Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Tempat pelelangan ikan (TPI) merupakan pusat dari seluruh kegiatan perikanan, yang
mengumpulkan semua hasil tangkapan untuk dijual melalui sistem lelang
(Direktorat Jenderal Perikanan (1981) dalam Yunizar, 1989. Direktur Bina
Prasarana Perikanan (1987) dalam Yunizar (1989) mengatakan bahwa secara umum
pelelangan ikan diartikan sebagai suatu metode transaksi di pusat
produksi yang diselenggarakan di TPI antara nelayan dan bakul dengan tujuan
agar dapat diperoleh harga yang wajar serta pembayaran secara tunai kepada
nelayan.
Berdasarkan Keputusan
Bersama 3 Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian dan Menteri
Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil Nomor 139 Tahun 1997;
902/Kpts/PL.420/9/97; 03/SKB/M/IX/1997 tertanggal 12 September 1997 tentang penyelengaraan
tempat pelelangan ikan, bahwa yang disebut dengan Tempat Pelelangan Ikan adalah
tempat para penjual dan pembeli melakukan transaksi jual beli ikan melalui
pelelangan dimana proses penjualan ikan dilakukan di hadapan umum dengan cara
penawaran bertingkat (Pramitasari, 2005).
BAB
III
METODE
PENELITIAN
3.1 Tempat dan
waktu penelitian
3.1.1
Tempat penelitian
Penelitian ini bertempat di daerah Puger, salah satu
kawasan yang berada di daerah Kabupaten Jember. Lebih tepatnya sebuah lokasi
tempat pelelangan ikan (TPI) Puger
3.1.2 Waktu penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan pada semester ganjil
tahun ajaran 2016-2017
3.2 Sumber Data
Sumber
data adalah segala sesuatu yang dapat memberikan informasi mengenai data.
Berdasarkan sumbernya, data dibedakan menjadi dua, yaitu data primer dan data
sekunder.
1. Data
primer yaitu menurut Umi
Narimawati (2008;98) dalam bukunya “Metodologi Penelitian Kualitatif dan
Kuantitatif: Teori dan Aplikasi” bahwa: “Data primer ialah data yang
berasal dari sumber asli atau pertama. Data ini tidak tersedia dalam
bentuk terkompilasi ataupun dalam bentuk file-file. Data ini harus dicari
melalui narasumber atau dalam istilah teknisnya responden, yaitu orang
yang kita jadikan objek penelitian atau orang yang kita jadikan sebagai
sarana mendapatkan informasi ataupun data.
2. Data
sekunder yaitu data yang mengacu
pada informasi yang dikumpulkan dari sumber yang telah ada. Sumber data
sekunder adalah catatan atau dokumentasi perusahaan, publikasi pemerintah,
analisis industri oleh media, situs Web, internet dan seterusnya (Uma Sekaran,
2011).
3.3 Tehnik
Pengumpulan Data
·
Observasi
Observasi Menurut
(Paton) : observasi adalah salah
satu metode yang akurat dan mudah untuk melakukan pengumpulan data dan
bertujuan untuk mengidentifikasi dan memahami semua peristiwa yang terjadi yang
menjadi objek penelitian dalam penelitiannya. Untuk mendapatkan data
penelitian, penulis melakukan Observasi dengan survey lokasi penelitian
·
Wawancara
Wawancara menurut (Dada
Rosadah) adalah untuk mendapatkan informasi yang
tepat dari narasumber yang terpercaya. Wawancara dilakukan dengan cara
penyampaian sejumlah pertanyaan dari pewawancara kepada narasumber.
·
Dokumentasi
Paul
otlet “international ecnomic conference 1905” dokumentasi ialah kegiatan berupa
pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, penemuan kembali dan penyebaran dokumen
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Eksistensi
tempat pelelangan ikan (TPI) dalam menunjang pertumbuhan ekonomi masyarakat
Puger
Masyarakat
yang tinggal disekitar wilayah Puger, mayoritas mengandalkan laut sebagai mata
pencahariannya baik itu sebagai nelayan, yang akhirnya memunculkan
aktivitas-aktivitas perekonomian lainnya seperti, kuli angkut, tukang becak,
pengambek, pedagang, pemasok, dan lain sebagainya yang saling terkait satu sama
lain dan sama-sama menggantungkan nasibnya pada keberadaan laut pada umumnya,
dan TPI khususnya sebagai salah satu sarana pemasaran dan koordinator harga.
Masyarakat puger yang mayoritas menggantungkan nasibnya akan
keberadaan TPI, senantiasa menopangkan perekonomiannya pada hasil laut. Mereka
tidak memiliki keterampilan lain selain apa yang merekakerjakan, hal inilah
yang membuat masyarakat puger menjadi masyarakat yang hidup dengan kemiskinan.
Mereka rela hutang untuk dapat tetap menyambung hidup atau bahkan menggadaikan
segala sesuatu yang mereka miliki bahkan sampai piring-piringpun ikut
digadaikan untuk menunggu berakhirnya musim angin barat yang membuat aktivitas
perekonomian mereka tersendat.
Nelayan di daerah pesisir puger
pada prinsipnya dibedakan menjadi tiga yakni nelayan besar dengan jumlah awak
kapal antara 25 – 35 orang,
nelayan sedang dengan jumlah awak kapal 20-25 orang,
dan nelayan kecil dengan jumlah awak kapal anatar 2 – 5 orang. Secara garis
besar jumlah nelayan di daerah puger di dominasi oleh nelayan kecil, dan
sebagian besar dari masyarakat nelayan di puger mayoritas adalah buruh kapal
yang tidak memiliki kapal sendiri. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar nelayan tradisional
yang menggunakan perahu jukung hidupnya belum sejahtera, bahkan tidak sedikit
yang hidup dibawah garis kemiskinan. Hal ini dapat terlihat dari kondisi
perekonomian dan sosial masyarakat yang belum juga menunjukkan titik terang.
Masyarakat nelayan puger harus senantiasa berperang dengan kemelut dan desakan
perekonomian saat musim paceklik tiba, sehingga bukan menjadi sebuah rahasia
lagi jika mereka harus mengutang dan menggadaikan sejumlah barang demi
menyambung hidup. Pendapatan nelayan yang diperoleh dari kegiatan berlayar
sangat dipengaruhi oleh alam seperti angin barat, cuaca, bulan purnama dan
bersifat musiman. Jika mencapai musim panen (rame) pendapatan kotor nelayan
kecil dalam sekali berlayar bisa mencapai Rp. 1000.000 perhari, sedangkan jika
musim sepi pendapatan hanya berkisar Rp. 100.000 perhari bahkan tidak jarang
mereka tidak mendapatkan penghasilan sama sekali, Sedangkan biaya biaya yang
harus dipenuhi seperti bahan bakar dan konsumsi di tanggung oleh pemilik kapal
berkisar antara Rp. 150.000 untuk nelayan kecil dan Rp 2000.000 untuk nelayan
besar dalam sekali berlayar, tergantung pada besar dan banyaknya awak kapal.
Jenis Mesin kapal yang digunakan untuk kapal kecil dan sedang adalah mesin
jenis TS 120-150 cc, sedangkan kapal besar 150-250 cc. jumlah solar yang
dibutuhkan adalah 10 – 20 liter untuk nelayan kecil dan 200 hingga 300 liter
solar untuk nelayan besar dalam setiap melaut (kapal besar bisa 2x lipat karena
jauhnya daya jelajah). Setiap melaut nelayan membutuhkan waktu 1 hingga 2 hari
tergantung dari hasil tangkapan.
Komposisi bagi hasil nelayan, terdiri dari 45% untuk nelayan yang terjun langsung untuk berlayar
dan 55% diberikan untuk pemilik kapal . Pola bagi hasil nelayan masih mengenal system kekeluargaan,
dengan alasan rasa sungkan atau kasihan, pemilik kapal sering kali harus
menelan kerugian jika hasil yang diperoleh tidak banyak (musim sepi). Menurut
pak syukron (40) terkadang penghasilan 45% tersebut kurang bahkan ia seringkali
menambahi untuk dapat melakukan pelayaran kembali seperti membeli bahan
bakarnya, memperbaiki kerusakan jukungnya, serta untuk membelikan bekal selama
pelayaran nantinya.
Nelayan Puger menolak adanya system slerek, hal ini untuk menjaga
kelestarian ekosistem ikan di laut sehingga hasil tangkapan mereka tidak
sebanyak nelayan didaerah lain seperti
nelayan Probolinggo dan Muncar. Maksimal hasil tangkapan
mereka hanya dapat menampung 80kg untuk nelayan kecil dan untuk nelayan besar 8,5
ton.
Perekonomian masyarakat nelayan di Puger dapat di ibaratkan sebagai
sebuah lingkaran yang tak berujung. Pada saat musim panen ikan mereka akan
melakukan invesatasi seperti membeli tanah atau emas, namun tak lama kemudian
pada saat paceklik investasi dan barang berharga lainnya akan digadaikan. Pada
saat musim sepi sebagian besar para nelayan puger ini tidak memiliki
alternative pekerjaan lain, sehingga selama musim sepi tersebut mereka
menganggur atau hanya berbenah kapal sehingga dapat dipastikan mereka tidak
memiliki pemasukan pendapatan.
Pola perekonomian masyarakat nelayan dapat dikatakan masih
berada pada ambang tradisional, mereka masih menggunakan cara cara tradisional
dalam melaut. Dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya, nelayan puger sangat
tergantung pada alam dan pendanaan dari pengambek. Secara praktis belum ada
pemberdayaan masyarakat untuk program budidaya ikan yang bertujuan
meminimalisir krisis ekonomi nelayan pada masa paceklik.
Nelayan yang memiliki tanggungan hutang pada pengambek harus
menjual ikan hasil tangkapannya kepada pengambek tersebut dengan harga dibawah
harga pasar. Pengambek biasanya mengambil untung Rp 300 - Rp 500/kg. Bagi
nelayan yang tidak berniat mengembalikan uang pinjamannya kepada pengambek,
maka iaharus menjadi bawahan pengambek tersebut. Keberadaan pengambek disni
memiliki sisi positif dan negative. Sisi positif pengambek adalah ia berperan
sebagai pemodal yang membantu dan menunjang kegiatan nelayan dalam berlayar,
sehingga keberadaannya memegan peranan penting mengingat masih minimnya modal
yang berjalan dari pemerintah untuk masyarakat nelayan di daerah puger.
Sedangkan sisi negative dari pengambek adalah kehadirannya yang mengharuskan
nelayan menjual hasil tangkapannya pada pengambek menyebabkan harga ikan tidak
stabil karena pengambek memberlakukan harga ikan semaunya, dan hal ini tentunya
akan menghambat dan menjadi kendala bagi TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dalam
melaksanakan tugasnya untuk melelang dan mengkoordinir harga ikan dipasaran.
Harga ikan di puger selain dipengaruhi oleh musim, juga dipengaruhi
oleh harga barang-barang lain seperti kenaikan harga BBM dan kenaikan harga
bahan makanan. Diakui oleh salah seorang narasumber yakni bapak syukron yang
berprofesi sebagai nelayan selama 25 tahun, bahwa kenaikan harga BBM dan bahan
pangan mempengaruhi harga ikan, bahkan tidak jarang hasil pendapatan yang
diperoleh nelayan semakin menurun karena harus dikurangi biaya total dalam
berlayar yang diakumulasikan dari biaya bahan bakar dan bahan pangan (bekal).
Hal ini menegaskan kita tentang hukum permintaan yang menyebutkan bahwa ketika
harga naik maka permintaan akan menurun. Selain menjadi polemic besar bagi
pedagang hal ini tentunya juga menjadi sebuah masalah tersendiri bagi para
nelayan, karena permintaan jauh lebih banyak dijatuhkan pada ikan air tawar.Selain
menjualnya pada pengepul maupun di TPI, nelayan biasanya juga menjual ikan-ikan
yang jelek atau rusak (tidak layak konsumsi) pada peternak untuk dijadikan
makanan ternak yang disebut oleh masyarakat puger sebagai sentrat dengan harga
ikan perkilo berkisar antara Rp 2.500 – Rp 3000.
Ada kelompok nelayan yang beranggotakan 10 orang yang
memiliki modal besar untuk membangun rumpon yang diletakkan ditengah laut.
Rumpon itu digunakan ketika musim paceklik ikan datang. Sehingga ikan-ikan yang
tertangkap di rumpon di ambil untuk memenuhi kebutuhan di TPI. Ketika musim ikan rumpon didiamkan agar terisikan
yang terjebak masuk kedalam rumpon. 1 rumpon bisa menghabiskan dana hingga
100jt. Karena membutuhkan perhitungan letak dan struktur bangunan yang kokoh
agar tidak hanyut apabila ombak besar menerjang rumpon.
Pendapatan nelayan tidak menentu apakah itu musim angin atau
musim ikan, Mereka tidak menggunakan teknologi seperti GPS untuk mencari ikan
sehingga pendapatan ikan mereka tidak menentu. Mereka menggunakan penghitungan
musim ikan. Awal bulan ke-5 hingga 12 adalah musim ikan. Sedangkan bulan ke-1
hingga akhirbulan ke-4 adalah paceklik ikan atau mereka biasa menyebutnya musim
angin. Karena tidak adanya teknologi yang mendukung dan tidak adanya sistem yang
digunakan untuk menjumlah penghasilan mereka dari tiap-tiap musim. Mereka hanya
fokus untuk mencari ikan tanpa mencatat dan mengkalkulasi berapa pendapatan
yang mereka peroleh dari hasil melaut tiap musimnya.
Kemiskinan masyarakat pesisir bersifat struktural dan
ditengarai karena tidak terpenuhinya hak-hak dasar masyarakat seperti pangan,
kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan infrastruktur. Kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses informasi, teknologi dan
permodalan, budaya serta gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi
tawar nelayan semakin lemah. Kebijakan pemerintah kurang berpihak pada pemangku
kepentingan di wilayah pesisir itu.
A. Hasil Wawancara dengan Pedagang Ikan
Segoro Kidul atau Samudera Indonesia
menjadi ladang penghidupan bagi masyarakat Puger yang sebagian besar sebagai
nelayan. Puger sendiri merupakan pelabuhan laut yang berfungsi sebagai
pangkalan dari para nelayan dan pelaut dengan bukti keberadaan Tempat
Penampungan Ikan (TPI) terbesar di Jawa Timur.Untuk pasar di TPI Puger buka 24 jam dan hanya pada hari
Jum’at Legi para nelayan tidak melaut karena pada hari itu digunakan untuk
beribadah mendekatkan diri kepada Tuhan dan juga bentuk perwujudan rasa syukur
atas keberkahan yang diterima serta berdoa agar para nelayan diberi keselamatan
dalam menjalankan pekerjaannya. Pada Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Puger ini
untuk pedagang ikan dibagi menjadi 2 yaitu pedagang ikan (pedagang ikan dengan
kios dan pedagang ikan tanpa kios) dan pengepul. Disini kelompok kami melakukan
wawancara dengan 4 narasumber diantaranya :
Nama : Bapak Haji Agus
Santoso
Usia : 70 tahun
Pekerjaaan : Pedagang Ikan
dengan kios
Lama usaha : 64
tahun
Nama : Ibu Romlah
Usia : 30 tahun
Pekerjaan :
Pedagang Ikan tanpa kios
Lama usaha : 3 tahun
Nama : Ibu Maya
Usia :
45 tahun
Pekerjaan : Pedagang Ikan tanpa kios
Lama usaha : 20 tahun
Nama : Bapak Zaenal
Usia :
28 tahun
Pekerjaan : Pengepul
Lama usaha : 5 tahun
Jenis-jenis ikan yang sering
ditangkap oleh para nelayan adalah Tuna, Lemuru, Tengiri, Tongkol, Cumi,
Bandeng laut, Kakap putih, Kakap merah, Pari, Kerapu dan Benggol. Ikan yang
didapat oleh para nelayan biasanya dibeli oleh pedagang ikan, diborong oleh
pengepul atau dibeli oleh pengusaha ikan. Kendala utama yang dihadapi oleh para
nelayan dan pedagang ikan adalah cuaca yang sekarang tidak menentu dan
kemampuan para nelayan dalam memanage keuangan. Pada bulan Januari-April hasil
laut yang diperoleh oleh nelayan mengalami penurunan dan pada bulan
Mei-Desember hasil laut yang diperoleh
oleh nelayan mengalami kenaikan. Jika hasil laut yang diperoleh oleh para
nelayan mengalami penurunan agar pasokan kebutuhan masyarakat akan konsumsi
ikan dapat terpenuhi maka untuk mengatasinya biasanya ikan didatangkan dari
Sumenep, Jawa Tengah, Muncar (Banyuwangi), Probolinggo, Situbondo, dan Bali.
Selain itu, juga dapat menggunakan alternatif memancing di rumpon (sejenis
keramba yang dibangun di tengah laut) tetapi ikan yang terjaring di rumpon baru
bisa dilihat hasilnya setelah 4-5 hari.
Harga ikan di TPI ini sangat
bervariasi tergantung pada besarnya hasil laut, jika hasil laut besar harga
ikan akan turun, harga pernah sampai 1.000-2.000/kg dan jika hasil laut kecil
maka ikan akan naik, kenaikan harga pernah sampai 17.500/kg. Hal ini juga
dipengaruhi bagaimana kita menawarnya. Untuk harga ikan benggol Rp. 12.000/kg,
Cumi dan Ikan Kerapu 30.000/kg, Ikan Tuna 15.000-25.000/biji dan Ikan Lemuru
yang paling besar ukurannya yaitu Rp.15.000. Setelah nelayan tiba dengan
membawa hasil lautnya, hasil laut tersebut dipilah-pilah terlebih dahulu antara
kualitas yang baik dan buruk. Untuk
hasil laut dengan kualitas yang baik dijual di pasaran lokal maupun
nasional. Untuk hasil laut dengan
kualitas yang buruk agar tetap memiliki nilai jual diasinkan menjadi pindang.
Untuk sistem penjualan hasil lautnya dengan menggunakan memakai alat keranjang
atau gendum (1 gendum = 15 keranjang). Untuk proses pengasinan dilakukan oleh
masyarakat di sekitar TPI Puger.
Untuk besarnya pajak yang diterapkan
oleh TPI berbeda-beda. Besarnya pajak tersebut diantaranya :
No
|
Jenis Pekerjaan
|
Besarnya Pajak
|
1.
|
Pedagang Ikan dengan kios
|
60.000/ bulan
|
2.
|
Pedagang Ikan tanpa kios
|
Membeli karcis 1.000/ hari
|
3.
|
Pengepul
|
500.000/ bulan
|
4.
|
Becak Motor/Ojek
|
Membeli karcis 1.000/ hari
|
NB : Untuk penduduk asli daerah
Puger tidak dikenakan pajak
|
Penghasilan para pedagang ikan di
Puger tidak menentu. Hal ini dikarenakan jumlah modal yang tersedia, faktor
cuaca dan besarnya ikan yang didapat dari para nelayan, sehingga saat kami
melakukan observasi mereka tidak dapat memberikan keterangan yang pasti untuk
pendapatan 1 bulanannya. Mereka hanya bisa memberikan data yang pasti untuk
pendapatan mereka per harinya yaitu:
No
|
Jenis Pekerjaan
|
Besarnya penghasilan/hari
|
1.
|
Pedagang ikan dengan kios
|
400.000
|
2.
|
Pedagang ikan tanpa kios
|
150.000-200.000
|
3.
|
Pengepul
|
2.000.000-3.000.000
(Mereka mengambil keuntungan
1.000/kg dan untuk mekanisme penjualannya untuk penjualan eceran minimal 5
kg)
|
Jika
jumlah ikan yang didapat dari para nelayan banyak maka keuntungan yang
diperoleh pun juga akan semakin besar. Selisih harga antara hasil mancing di
rumpon dengan hasil melaut berbeda yaitu 15.000-20.000/ keranjang.
Untuk modal awal yang dipergunakan,
baik oleh pedagang ikan maupun pengepul sebagian besar mereka menggunakan
sistem kepercayaan yaitu dengan hutang kepada para nelayan. Jika pada hari
tersebut ikan terjual semua maka besok hutang tersebut segera dilunasi, tetapi
jika pada hari tersebut ikan belum terjual semua biasanya hutang baru dilunasi
2-3 hari kemudian.
No
|
Jenis Pekerjaan
|
Besarnya modal awal yang dibutuhkan
|
1.
|
Pedagang Ikan dengan kios
|
2.100.000
(untuk pedagang ikan dengan kios
karena mereka 1 gendum untuk persediaan awalnya)
|
2.
|
Pedagang Ikan tanpa kios
|
700.000-800.000
(40 kg dengan harga per kilo
ikannya 17.500)
|
3.
|
Pengepul
|
660.000
(60 kg dengan harga per kilo
ikannya 11.000)
|
Besarnya hasil laut sangat berdampak
positif terhadap pengahasilan masyarakat yang tentunya dapat meningkatkan
pendapatan per kapita daerah Puger karena apabila pendapatan masyarakat Puger
rendah maka pendapatan per kapita daerah akan turun, begitu juga sebaliknya.
Oleh karena itu, peran TPI disini sangatlah penting baik bagi masyarakat maupun
pemerintah dalam menunjang perekonomian masyarakat. Penyumbangan peningkatan
pendapatan per kapita tidak hanya dari hasil lautnya saja tetapi juga dari
penarikan pajak. Dari kegiatan penarikan pajak tersebut dapat digunakan untuk
memperbaiki serta meningkatkan sarana prasarana di TPI dan fasilitas umum di
daerah Puger, seperti perbaikan jalan dan lampu-lampu penerangan, sehingga
dapat memberikan rasa nyaman bagi para pemakainya dan kegiatan ekonomi, baik produksi
maupun distribusi dapat berjalan dengan lancar dan terus berkembang, sehingga
pendapatan per kapita daerah Puger juga
terus meningkat.
BAB V
KESIMPULAN
5.1
Kesimpulan
Tempat Pelelangan Ikan (TPI) memiliki
fungsi yang sama halnya dengan pasar, yakni melakukan transaksi jual beli,
secara khusus peran Tempat Pelelangan Ikan (TPI) adalah melelangkan ikan yang
diperoleh oleh para nelayan agar mendapatkan nilai harga yang layak dan bisa
diterima oleh semua masyarakat (konsumen), namun peranan secara khusus tersebut
sudah tidak eksis lagi karena sulit mengatur para nelayan dan juga kurangnya
perhatian dari pemerintah. Dalam observasi ini bisa diambil kesimpulan
bahwasanya tempat pelelangan ikan memiliki pengaruh besar dalam pembangunan
ekonomi khususnya masyarakat puger dan masyarakat jember pada umumnya, dilihat
dari data nelayan dan pedagang. Nelayan memiliki peranan sebagai penyuplai ikan
sedangkan pedagang sebagai distributor
(penyalur) hasil tangkapann ikan dari para nelayan.
5.2 Saran
Teknis pelelangan ikan, tidak hanya sekedar jual beli antara nelayan
dan pedagang. Dalam sistem lelang, nelayan memasukkan ikan kepada petugas TPI
untuk dicatat, ditimbang kemudian dimasukkan dalam pelelangan. Pembeli yang
hendak membeli harus melalui proses lelang harga.
Pembeli yang memenangkan lelang membayar ke kasir UPT TPI, untuk
kemudian uangnya diserahkan kepada nelayan. Dalam proses lelang ikan inilah,
Pemkab mendapatkan pemasukan untuk Pendapatan Asli daerah (PAD). "Karena
nelayan dan pedagang ditarik retribusi, itu bisa jadi
pemasukan untuk PAD. Selama ini yang terjadi memang hanya jual beli biasa. Dan jual belinya hanya antara nelayan dan pengambek saja,"
pemasukan untuk PAD. Selama ini yang terjadi memang hanya jual beli biasa. Dan jual belinya hanya antara nelayan dan pengambek saja,"
Pengambek merupakan juragan ikan yang banyak memodali nelayan, baik
untuk biaya operasional melaut, pembuatan kapal bahkan sampai biaya pendidikan
akan nelayan. Nelayan bisa utang kepada pengambek. Sebagai cara
mengembalikan pinjaman, nelayan harus menjual ikan kepada pengambek. Harga ikan
ditentukan oleh pengambek. Dan pengambek juga mengambil jasa penjualan untuk
setiap keranjang ikan.
Daftar Pustaka
Ahira,
Anne. “ Pengaruh Pengelolaan Lingkungan Hidup terhadap Aspek Sosial dan Ekonomi
Masyarakat “. http://uwityangyoyo.wordpress.com/2015/06/10/( 28 September 2015)
Ananta.
Indikator Kesejahteraan Rakyat di Indonesia. Bandung :Sumber Ilmu, 1993
Departemen
Agama RI. Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta : Toha Putra, 1971
Direktorat
Bina Prasarana – Ditjen Perikanan, 1994 :Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan N0. 16/MEN/2006. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap.Undang –
Undang Pelabuhan Perikanan .Jakarta :Direktorat Bina Prasarana, 2004
Fandelli.
C. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Prinsip Dasar dan Penerapannya Dalam
Pembangunan. Yogyakarta : Penerbit Liberty. 1992.
Hidayat,
Azhar. “Analisis pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Bulukumba (studi
kasus :kawasan pesisir kecamatan Ujung Loe)”. Skripsi. Makassar :Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Alauddin, 2012.
Kramadibrata,
Soedjono. Perencanaan Pelabuhan. Bandung :Penerbit Ganeca Exact, 2002
Kusmayadi.
Statistika Pariwisata Deskriptif. Jakarta :Gramedia Pustaka Utama, 2004
Kodoatie,
Robert J. Pengantar Manajemen Infrastruktur, Cet.V; Yogyakarta :Pustaka
Pelajar, 2005
Lincolin,
Arsyad. Ekonomi Pembangunan.Yogyakarta :STIE.YKPN, 199
No comments:
Post a Comment